Kedai Susu Shi Jack dan Resiliensi

Herjuno Ndaru
5 min readSep 7, 2024

--

Bagi mereka yang pernah tinggal di Solo, pasti tak asing dengan kedai susu kaki lima ini. Kedai susu dengan aneka rasa ternyata menyimpan berbagai cerita motivasi.

Shi Jack. Nama ini melegenda, khususnya di Solo Raya. Kedai susu ini menyajikan susu segar, yang langsung diperah dari sapi di Boyolali. Pembelinya mulai dari mahasiswa, anak muda, keluarga, sampai dengan mereka yang bermobil dengan profesi yang mentereng.

Penampakan salah satu kedai Shi Jack. Diambil dari Instagram @shijacksolo

Kedai susu dan sapi dari Kabupaten Boyolali ini menyimpan kisah tersendiri. Berdiri sejak tahun 1980-an, berikut adalah empat kisah resiliensi dari susu Shi Jack.

Ketekunan

Seperti banyak usaha mikro dan kecil lain, kedai susu Shi Jack dibangun dengan ketekunan dan keuletan pendirinya. Dengan bermodalkan lima ratus ribu rupiah di tahun 1986, Joko Surasno memilih keluar dari pekerjaannya dan menyeriusi penjualan susu segar yang telah dirintisnya. Karena ketekunannya, kedai susu ini telah berkembang menjadi tiga belas cabang di penjuru Kota Bengawan.

Penyiapan susu segar aneka rasa di Kedai Shi Jack. Diambil dari website Surakarta.pro

Oleh pendirinya, nama Shi Jack mempunyai kepanjangan yang unik. Yakni, Sempurnakan Hidup Ini, Jika Anda Capek Kesini.

Selain konsistensi rasa, salah satu hal yang membuat susu Shi Jack ini terus digemari adalah inovasi secara sederhana dengan menciptakan rasa susu baru yang disukai pelanggan.

Membantu Petani Lokal

Susu Shi Jack diambil dari susu murni yang langsung diperah dari peternakan sapi di Cepogo, Boyolali. Daerah Boyolali merupakan salah satu sentra pengembangan susu nasional, selain Bandung dan Malang.

Kondisi peternak sapi saat ini masih jauh dari ideal. Harga susu yang dijual petani masih dihargai rendah oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) karena kandungan protein yang rendah dari susu kita. Oleh karena peternakan yang kurang menguntungkan ini, banyak peternak yang urung melanjutkan usaha sapi perah.

Pertama, teknologi yang memungkinkan sapi untuk lebih produktif cukup mahal bagi peternak lokal. Kedua, beban biaya pakan yang tinggi juga membuat kandungan protein susu lokal kita berkurang karena petani harus memperhitungkan ongkos pakan agar tidak rugi. Ketiga, cuaca yang semakin panas, dan perubahan iklim membuat produktivitas sapi perah juga menurun.

Potret salah satu peternakan sapi di Cepogo, Boyolali. Diambil dari website Soloraya

Tak heran, akhirnya saat ini IPS memilih banyak mengimpor susu, terutama berbentuk skim / bubuk, untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Kondisi ini yang membuat peternak sapi lokal perlu mencari solusi agar berternak sapi tetap bisa menguntungkan.

Pembelian susu sapi segar dari peternak secara langsung akan membantu peternak untuk menjual susu sapi dengan harga yang lebih tinggi.

Mengapa demikian ? Pengguna langsung (end user) tidak akan mensyaratkan berbagai hal. Seperti kandungan protein, kadar lemak, atau kadar laktosa, yang disyaratkan oleh IPS. Kebanyakan mereka hanya mensyaratkan kesegaran dari susu perah karena susu tanpa pemrosesan tak akan tahan lama.

Dalam sehari, Shi Jack menghabiskan sekitar 170 liter susu sapi. Permintaan ini juga akan semakin bertambah, karena di Solo Raya bermunculan kedai susu lain yang serupa dengan Shi Jack. Volume pembelian yang besar akan menaikkan resiliensi usaha ternak susu Boyolali.

Gizi Tinggi

Untuk mendapatkan mental yang baik, kontribusi asupan harian cukup penting. Berbagai riset mengatakan bahwa asupan makanan sehat akan membuat kita tidak mudah cemas, stress, atau pun depresi. Asupan gula tinggi berpotensi untuk memicu hormon kortisol yang dapat menyebabkan kecemasan dan kelelahan.

Saat ini, di pasaran, banyak kita jumpai minuman kemasan atau pun jajajan di mal dan kaki lima dengan kadar pengawet dan gula yang sangat tinggi. Susu sapi Shi Jack menawarkan susu murni. Memang, ada beberapa menu yang ditambahkan gula. Tapi, kita sebagai konsumen, tetap bisa meminta jenis menu susu yang tidak menggunakan tambahan gula.

Hati-hati, kadang penjual susu kaki lima ada yang mencampur susu dengan santan. Kejelian dalam merasakan tegukan susu menjadi cara paling mudah untuk membedakan susu murni dan susu dengan campuran santan atau gula.

Nah, resiliensi mental dapat dibantu dengan asupan yang baik. Salah satunya adalah susu murni, terutama jika kamu tidak mempunyai intoleransi laktosa.

Kreativitas untuk Survive

Cerita resiliensi dari susu Shi Jack ini adalah cerita mengenai Kabupaten Boyolali. Kabupaten Boyolali adalah salah satu kabupaten yang terletak persis di sebelah utara dan barat Kota Solo.

Cepogo, tempat dimana banyak peternak sapi ditemukan di Boyolali, adalah daerah kaki Gunung Merapi dan Merbabu yang sangat rawan dengan letusan vulkanik Merapi.

Dulunya, kabupaten ini tergolong sangat miskin, jika melihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Akan tetapi, di era otonomi, muncul pemimpin-pemimpin daerah yang mulai mengubah nasib Boyolali. Dengan semboyan “Boyolali Pro Investasi”, saat ini banyak tenaga kerja terserap dari banyaknya industri manufaktur tekstil yang membuka pabrik di kabupaten ini. Bahkan, ada pabrik dari Jabodetabek yang memilih pindah ke Boyolali.

Patung sapi di depan Gedung Lembu Sora di pusat kabupaten Boyolali. Diambil dari website Wawasan.co

Ketika industri tumbuh, permintaan akan produk pertanian dan peternakan juga tumbuh karena kuliner lokal juga tumbuh. Peternak susu sapi Boyolali tak hanya memproduksi susu segar saja. Mereka pun juga kreatif, mengubah susu yang cepat basi ini menjadi produk olahan susu. Yoghurt, keju, dan kefir adalah di antaranya. Pemasaran lalu dilakukan di hotel dan industri kuliner di sekitar Boyolali. Misalnya, di Solo, Salatiga dan Bawen.

Inilah kerennya resiliensi dari produsen susu sapi di Boyolali. Mereka kreatif. Shi Jack dapat susu segarnya, dan restoran kecil di sekitar Boyolali juga dapat olahan susunya.

Tak Resilien Maka Tak Berlanjut

Cerita resiliensi dari kedai susu dan peternak sapi ini kembali mengingatkan saya pada buku klasik karya Spencer Johnson berjudul “Who Moved My Cheese?”

Cover buku klasik, “Who Moved My Cheese”. Diambil dari website Penguin Books

Dalam buku tersebut, dikisahkan empat karakter, Sniff, Scurry, Hem, dan Haw berusaha mencari keju mereka dengan cara masing-masing. Sniff dan Scurry berhasil terlebih dahulu mencari keju-keju yang terus berpindah. Lalu Haw berhasil mendapatkannya setelah melakukan berbagai langkah dan perdebatan dengan Hem. Akhirnya, setelah Haw berhasil mendapatkan keju-keju baru, ia menyadari bahwa kondisi eksternal bisa terus berubah. Dia harus terus bergerak mencari peluang agar bisa terus menemukan keju-kejunya. Keju adalah perlambang penghidupan.

Begitu pula dengan kisah susu ini. Peternak aktif mencari peluang. Pengusaha kecil juga mencari peluang, bahkan berinovasi dengan berbagai jenis susunya. Bersinergi dengan pemerintah lokal, dengan training pengolahan susu, membuat peluang mereka selangkah lebih maju. (*)

--

--

Herjuno Ndaru
Herjuno Ndaru

Written by Herjuno Ndaru

This is my personal blog. I write on Talent Management, Human Resource and anything about Development Studies.

No responses yet